Metrosultra.id, Rumbia – Festival Budaya Moronene yang digelar di kawasan eks MTQ Kasipute Bombana (4/6) menghadapi kontroversi besar setelah menuai kritik keras dari masyarakat lokal. Meskipun diharapkan menjadi wadah untuk memperkenalkan dan mempromosikan kekayaan budaya suku Moronene, festival ini justru lebih cenderung memamerkan budaya luar daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesesuaian tema acara dengan realitas yang terjadi.

Sejumlah pengamat budaya lokal mengecam penyelenggara festival karena dianggap tidak konsisten dengan tema yang telah ditetapkan. Sebut saja Jumrad Raunde, mengungkapkan kekecewaan karena festival yang seharusnya menjadi momentum untuk merayakan dan melestarikan warisan budaya Moronene, justru terkesan mengabaikan identitas lokal tersebut. Hal ini menimbulkan keraguan apakah festival tersebut benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat setempat atau hanya bertujuan untuk mencari popularitas lebih luas.

“Kegiatan festival yang digelar itu tentunya kami selaku pemerhati Budaya lokal Bombana sangat apresiasi. Hanya saja kami kecewa dengan apa yang ditampilkan yang tidak sesuai antara tema dengan yang ditampilkan, kenapa tidak tampilkan seni atau tari Budaya kita seperti musik Bambu, Lulo Alu, Tarian Lumense, Ohohi, dan sebagainya,” terang Jumrad dengan raut penuh kecewa. Rabu, 5 Juni 2024.

Menurutnya, keberagaman budaya di Bombana seharusnya menjadi poin utama dalam hajatan budaya tersebut. Bukan dengan lebih menonjolkan budaya luar, festival yang digelar malah cenderung mengaburkan identitas budaya lokal yang sebenarnya. Masyarakat lokal berharap agar ke depannya, penyelenggara dapat lebih berfokus pada penggalian dan pemaparan kekayaan budaya yang ada di tengah-tengah mereka, sehingga dapat lebih mendukung pembangunan budaya lokal yang berkelanjutan.

Kontroversi yang melanda Festival Budaya Moronene menunjukkan pentingnya keselarasan antara tema acara dengan identitas lokal. Sementara festival seharusnya menjadi ajang untuk membangkitkan rasa bangga akan warisan budaya suatu daerah, kesalahan konseptual seperti ini dapat mereduksi dampak positif yang seharusnya dihasilkan oleh acara tersebut.

Jumrad berharap agar pembelajaran dari kontroversi ini dapat dijadikan pelajaran berharga untuk penyelenggaraan festival-festival budaya mendatang.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Bombana, Kamalia Kadir, malah membela konsep yang mereka usung dalam Festival Budaya Moronene.

Menurutnya, tujuan utama dari festival tersebut adalah untuk memperluas wawasan masyarakat tentang keberagaman budaya. Meskipun budaya luar diberikan ruang dalam festival, Kadir menegaskan bahwa budaya lokal tetap menjadi fokus utama acara tersebut.

“Ini ada tiga tema, diantaranya festival budaya Moronene Tua yang didalamnya ada kegiatan Tolea, powewosoi, kedu Karnaval dan yang ketiga Festival Seni dan Budaya Daerah yang didalamnya ada Karnaval dan lomba tarian seni dari etnis lain yang ada di Kabupaten Bombana.” tepisnya.

Meskipun mendapat kritik dari sejumlah pihak, Kamalia Kadir tetap yakin bahwa konsep festival tersebut memiliki dampak positif dalam memperluas pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang keanekaragaman budaya. Menurutnya, keberagaman budaya yang dipamerkan dalam festival mencerminkan realitas sosial yang ada di Bombana, yang terdiri dari beragam suku dan etnis.

Pernyataan Kamalia Kadir mengaku tetap menjaga keberagaman budaya dalam festival, meskipun hal tersebut mendapat kritik dari beberapa pihak. Ia berharap bahwa festival tersebut akan terus menjadi platform yang inklusif bagi semua elemen masyarakat untuk merayakan dan menghargai warisan budaya yang dimiliki oleh daerah tersebut.