METROSULTRA.ID, Bombana – Pulau Kabaena, yang dikenal dengan keindahan alamnya dan kekayaan laut yang menopang kehidupan masyarakat pesisir, kini berada di persimpangan jalan. Aktivitas pertambangan nikel yang semakin masif telah mengubah wajah pulau ini. Hutan yang dulu rimbun mulai gundul, air sungai yang dulu jernih kini berwarna keruh kemerahan, dan masyarakat lokal kian resah menghadapi dampak lingkungan yang tak terhindarkan.
Sejumlah perusahaan tambang beroperasi di wilayah ini, mengeksploitasi cadangan nikel yang melimpah. Namun, aktivitas ini justru bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas melarang pertambangan di pulau kecil. Pulau Kabaena, dengan luas kurang dari 2.000 km², seharusnya berada dalam kategori wilayah yang dilindungi dari eksploitasi skala besar. Namun, kenyataannya berkata lain.
Dari Gunung ke Laut, Jejak Tambang Meninggalkan Luka
Di Dusun Lambale, di kaki gunung yang dulunya hijau, kini terlihat bentang alam yang terkoyak. Lereng-lereng yang seharusnya menjadi penyangga air telah berubah menjadi lahan terbuka, menganga seperti luka yang belum sembuh. Ketika hujan turun, lumpur dari bekas galian mengalir ke sungai-sungai, membawa serta endapan sedimen yang mengotori perairan.
“Dulu kami bisa mengambil air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Sekarang, airnya berlumpur, bau, dan tidak bisa diminum,” kata Lamakuni, warga setempat yang sejak kecil tinggal di Kabaena.
Tak hanya daratan yang terkena dampak, laut yang menjadi sumber utama penghidupan masyarakat pesisir juga ikut tercemar. Limbah tambang yang terbawa arus telah merusak habitat ikan dan terumbu karang. Nelayan di pesisir Kabaena mengeluh hasil tangkapan mereka terus menurun.
“Lautan kami bukan lagi tempat yang ramah. Ikan-ikan semakin sulit didapat, bahkan beberapa jenis yang dulu melimpah kini jarang terlihat,” ujar La Ode, seorang nelayan di Desa Baliara selatan.
Regulasi Ada, Tapi Siapa yang Menjaga?
Secara hukum, aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Kabaena jelas dilarang. Pasal 35 huruf (k) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pertambangan di pulau kecil hanya diperbolehkan untuk kepentingan strategis nasional yang tidak bisa dilakukan di tempat lain. Namun, hingga kini, tak ada tanda-tanda penindakan tegas dari pihak berwenang.
Organisasi masyarakat sipil dan aktivis lingkungan telah berkali-kali menyuarakan protes, namun pelanggaran terus terjadi. “Ada semacam pembiaran terhadap praktik ilegal ini. Seharusnya pemerintah hadir untuk melindungi masyarakat dan lingkungan, bukan justru membiarkan eksploitasi berlanjut,” tegas Ahmad Syah, aktivis lingkungan.
Pemerintah daerah dan pihak terkait masih tarik-ulur dalam menangani kasus ini. Di satu sisi, sektor tambang memang berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Di sisi lain, jika eksploitasi terus dilakukan tanpa kendali, dampak jangka panjangnya bisa lebih merugikan daripada manfaat yang diperoleh.
Selamatkan Pulau Kabaena
Masyarakat Kabaena kini berada di garis depan perlawanan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Mereka berharap ada langkah konkret untuk menghentikan eksploitasi yang semakin tak terkendali.
Beberapa desa mulai berinisiatif mengembangkan ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang lebih berkelanjutan. Mereka yakin, jika dikelola dengan baik, Kabaena bisa menjadi contoh bagaimana keseimbangan antara alam dan manusia dapat dijaga.
Namun, semua itu butuh komitmen dari berbagai pihak—masyarakat, pemerintah, dan perusahaan. Tanpa itu, Kabaena bisa kehilangan identitasnya, berubah dari pulau yang kaya akan sumber daya alam menjadi lahan tambang yang gersang dan penuh luka ekologis.
Pertanyaannya, akankah Kabaena diselamatkan sebelum terlambat?