Metrosultra.id, Kendari – Meski sejak 2022 telah dijatuhi sanksi administratif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) kembali beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Ironisnya, sanksi pidana yang seharusnya dikenakan atas dugaan tambang ilegal justru diduga dikesampingkan.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) atau yang dikenal dengan nama Satgas Halilintar melakukan operasi penertiban di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, Kamis (11/9/2025). Dalam operasi tersebut, tim gabungan memasang plang larangan di atas lahan seluas 172,82 hektare yang dikuasai PT TMS.
Sejak penyegelan dilakukan, kawasan tersebut resmi berada di bawah penguasaan Pemerintah Republik Indonesia melalui Satgas PKH. Penindakan ini merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang menegaskan larangan segala bentuk penguasaan maupun transaksi lahan tanpa izin resmi dari Satgas.
Langkah tegas itu diambil setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan adanya aktivitas pertambangan ilegal oleh PT TMS. Dalam laporan BPK, perusahaan tersebut diketahui membuka lahan tambang tanpa izin di area seluas 147,60 hektare, tersebar di sembilan titik, bahkan sebagian berada di kawasan hutan lindung.
Ironisnya, PT TMS bukan kali pertama terseret masalah hukum lingkungan. Pada 2022, KLHK telah menjatuhkan sanksi administratif berdasarkan SK Nomor 1345/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2022. Perusahaan itu juga masuk dalam daftar 140 tambang bermasalah di Sulawesi Tenggara yang diwajibkan menyelesaikan kewajiban paling lambat 2 November 2023.
Namun, meski terbukti melanggar izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dan merusak lingkungan, hingga kini sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto UU Cipta Kerja, diduga tidak pernah benar-benar diterapkan kepada PT TMS.

Masri Said, S.H., M.H., salah satu praktisi hukum muda di Bumi Sulawesi Tenggara, menilai ada kejanggalan besar dalam penanganan kasus ini. “Korporasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan dengan sengaja menerabas kawasan hutan secara ilegal, kenapa hanya diganjar dengan sanksi denda? Padahal jelas-jelas itu pelanggaran hukum nyata,” tegasnya.
Ia menambahkan, dengan dalih penertiban dan penguasaan kembali oleh negara, lahan-lahan bekas tambang ilegal hanya dipasangi plang penyegelan. “Sekali lagi, hanya mengejar denda. Padahal dengan terang-benderang, hutan dan alam sudah rusak oleh ulah korporasi nakal itu,” katanya.
Lebih lanjut, Masri menegaskan bahwa regulasi sudah sangat jelas. Sesuai Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilakukan pada kawasan yang dilarang sebelum memperoleh izin resmi dari pemerintah. Bahkan, Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, secara tegas melarang eksplorasi maupun eksploitasi tambang di kawasan hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Pelanggaran terhadap kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa IPPKH diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar, sebagaimana Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan. Selain itu, Pasal 119 UU Minerba juga membuka ruang pencabutan IUP atau IUPK bila perusahaan tidak memenuhi kewajiban hukumnya,” jelas Masri.
Menurutnya, langkah penyegelan Satgas Halilintar harus dibarengi dengan proses pidana dan pencabutan IUP terhadap PT TMS. “Ini penting dilakukan agar ada efek jera dan memberi contoh tegas bagi korporasi lain. Kalau tidak, hukum akan terus tampak tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” pungkasnya.
Kasus PT TMS kini dipandang sebagai ujian serius bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam menegakkan supremasi hukum di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Tanpa penindakan pidana yang tegas, praktik tambang ilegal dikhawatirkan akan terus berulang dan meninggalkan kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan.