Penulis : Zulkarnain
|
Editor : Nurfadillah

Metrosultra.id, Bombana – Di pelataran Istana Kepresidenan Jakarta, 20 Februari 2025 lalu, sepasang perempuan berdiri anggun dengan kebaya biru muda yang menyalurkan kesederhanaan sekaligus wibawa. Namun yang paling menyedot perhatian bukanlah kebaya itu, melainkan kain tenun yang membalut tubuh mereka. Kain dengan motif kepala kuda, atau dalam bahasa Moronene disebut Rapa Dara, menjadi simbol kuat yang mereka bawa dari tanah Bombana ke panggung nasional.

Mereka adalah Hj. Fatmawati Kasim Marewa, istri Bupati Bombana Ir. H. Burhanuddin, dan Heny R. Rahman, istri Wakil Bupati Ahmad Yani. Kehadiran keduanya bukan sekadar mendampingi suami yang baru saja dilantik. Lebih dari itu, keduanya tampil sebagai penjaga warisan budaya Bombana, menegaskan identitas daerah melalui tenun yang sarat makna.

Bagi masyarakat Moronene, Rapa Dara bukan hanya motif hiasan. Kepala kuda yang menjadi cirinya memuat filosofi tentang kekuatan, daya tahan, dan semangat pantang menyerah. Nilai-nilai ini diwariskan dari generasi ke generasi, merepresentasikan karakter masyarakat Bombana yang gigih bertahan, baik di pesisir maupun pegunungan.

Motif itu lahir dari gagasan Fatmawati pada 2023, saat dirinya menjabat Ketua Dekranasda Bombana. Ia menyadari bahwa kain tenun khas Bombana membutuhkan perlindungan hukum agar tidak mudah diklaim daerah lain. Dari situlah ia menginisiasi pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas Rapa Dara, yang kemudian resmi diserahkan kepada Wonua Bombana. Langkah tersebut membuahkan hasil: pemerintah pusat mengakui Rapa Dara sebagai warisan khas Bombana yang sah secara hukum.

Namun perjalanan Rapa Dara tidak selalu mulus. Saat suami Fatmawati tak lagi menjabat sebagai Penjabat Bupati pada November 2023, popularitas kain tenun ini sempat meredup. Ia tak lagi dijadikan ikon daerah dan nyaris terlupakan. Tetapi Fatmawati tidak berhenti. Ia bersama Heny menjadikan momentum pelantikan suami mereka di Istana sebagai panggung baru memperkenalkan Rapa Dara ke hadapan bangsa.

Ibu Hj. Fatmawati Kasim Marewa, istri dari Ir. H. Burhanuddin, M.Si (Bupati Bombana), dan Ibu Wakil Bupati Bombana tampil anggun dalam balutan busana bercorak Rapa Dara, motif khas yang melambangkan keberanian dan keteguhan dalam mendukung kemajuan Bombana.

Keberanian memilih motif kepala kuda pun membawa pesan tersendiri. Di tengah ragam motif Nusantara yang kerap menampilkan bunga, burung, atau pola feminin, Rapa Dara justru tampil berbeda—tegas, maskulin, dan penuh karakter. Fatmawati dan Heny sadar bahwa budaya bukan soal menyesuaikan diri dengan arus, melainkan soal meneguhkan identitas.

“Mengenakan Rapa Dara di Istana bukan sekadar kebanggaan pribadi, tapi bentuk afirmasi. Ini kami, ini warisan Bombana,” ujar Fatmawati dalam satu kesempatan.

Pengakuan HAKI atas Rapa Dara tidak hanya soal kepemilikan simbol budaya. Lebih jauh, hal itu menjadi perlindungan nyata bagi para penenun Bombana. Dengan payung hukum selama 50 tahun, para penenun kini lebih leluasa mengembangkan produk, menjualnya ke pasar nasional, hingga meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka.

Apalagi, kain ini juga pernah mengantarkan Bombana meraih Dekranas Award 2023, sebuah penghargaan bergengsi yang memperkuat posisinya di mata publik. Pencapaian itu membuka pintu lebih besar bagi industri kreatif Bombana untuk menembus pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke mancanegara.

Fatmawati menyadari, menjaga warisan budaya tidak bisa berhenti pada seremoni. Harus ada daya penggerak ekonomi di dalamnya. “Bukan hanya kebanggaan, tapi juga sumber mata pencaharian,” tegasnya.

Ketika sesi foto bersama di Istana berlangsung, motif kepala kuda itu kembali mencuri perhatian. Beberapa tamu terlihat bertanya-tanya: mengapa kuda? Mengapa bukan motif bunga atau burung seperti biasanya? Pertanyaan itu justru membuka ruang dialog, memperkenalkan Bombana lewat cara yang elegan.

Jawaban yang mengalir sederhana tapi penuh makna: kuda berlari ke depan, tidak menoleh ke belakang. Begitulah filosofi yang ingin ditegaskan Rapa Dara—bahwa Bombana tidak akan berhenti pada pengakuan semata, melainkan terus maju, terus berlari.

Dan kini, jejak langkahnya sudah sampai di halaman Istana Negara. Sebuah penanda bahwa warisan lokal bisa mendapat tempat terhormat di panggung nasional, asalkan ada konsistensi, keberanian, dan cinta pada budaya sendiri.