BOMBANA, METROSULTRA.ID – Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi tenggara kini berada di titik rawan bencana ekologis akibat derasnya aktivitas pertambangan nikel. Dari bukit yang terkupas hingga laut yang tercemar, wajah alam Kabaena Selatan berubah drastis. Apa yang dulu dikenal sebagai kawasan subur dengan hutan lebat dan laut jernih, kini lebih sering digambarkan sebagai ruang hidup yang mulai rusak.
Sejak awal 2010-an, perusahaan tambang mulai masuk ke sejumlah desa di Kabaena Selatan. Pongkalaero, Batuawu, dan Pununu menjadi tiga wilayah yang paling padat dikepung konsesi. Bahkan, satu desa bisa memiliki lebih dari dua hingga tiga izin perusahaan sekaligus. Menurut catatan lembaga lingkungan, lebih dari 75 persen luas Pulau Kabaena sudah diberikan izin tambang, menjadikan Kabaena Selatan sebagai pusat kerusakan paling parah di pulau kecil itu.
Dampak kerusakan terlihat jelas di mata warga. Nelayan Bajo yang tinggal di pesisir mengaku hasil tangkapan ikan mereka kian menurun. Air laut yang dulu jernih berubah keruh akibat sedimentasi lumpur tambang, bahkan beberapa kali ditemukan bangkai ikan terapung. Para petani pun kehilangan kebun karena masuk area tambang. Bagi sebagian warga, ancaman bukan hanya soal kehilangan penghidupan, tetapi juga soal kesehatan. Kasus penyakit kulit dan ISPA merebak di sejumlah desa, diduga akibat paparan debu tambang dan air yang tercemar logam berat.
Krisis ini semakin diperburuk dengan hilangnya ribuan hektare hutan di Kabaena Selatan. Data pemantauan menunjukkan deforestasi besar-besaran terjadi dalam kurun dua dekade terakhir, termasuk kawasan yang sebelumnya ditetapkan sebagai hutan lindung. Perubahan status kawasan oleh pemerintah pusat membuka jalan bagi perusahaan untuk mengeruk kawasan penyangga ekosistem, tanpa memperhitungkan risiko jangka panjang. Kini, sumber mata air mulai kering, tanah longsor mengancam, dan satwa endemik kehilangan habitat.
Organisasi lingkungan bersama masyarakat setempat berulang kali mendesak pemerintah untuk mengevaluasi izin-izin tambang di Kabaena Selatan. Mereka menegaskan bahwa keberadaan industri ekstraktif di pulau kecil seperti Kabaena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang secara jelas melarang penambangan di wilayah dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi. Namun, desakan ini kerap kandas oleh alasan investasi dan kepentingan ekonomi sesaat.
Sekarang, Kabaena Selatan bukan hanya menyandang status sebagai kawasan tambang, melainkan juga simbol rapuhnya kebijakan lingkungan di negeri ini. Dari bukit yang terkelupas hingga laut yang menguning, Kabaena Selatan seakan menjadi cermin dari pertanyaan besar: seberapa jauh Indonesia rela menggadaikan ruang hidup masyarakat demi ambisi nikel? Ironisnya, di tengah derita yang kian dalam, masyarakat kerap dirayu dengan dana “belah kasihan” dari perusahaan, dikemas rapi dengan istilah kompensasi atau CSR. Bagi warga yang terhimpit kebutuhan, uang itu memang membantu sesaat, namun sesungguhnya hanyalah plester tipis untuk menutup luka ekologis yang kian menganga.
Kini, Kabaena Selatan benar-benar berada di bawah bayang bencana. Jika tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk menghentikan eksploitasi berlebihan, maka bencana ekologis yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu. Pulau kecil yang dulu hijau dan kaya sumber daya, pelan-pelan bisa lenyap dari peta kehidupan, menyisakan luka mendalam bagi generasi yang akan datang.