Penulis : Zulkarnain

Metrosultra.id, Bombana – Kasus video viral yang memperlihatkan warga Desa Lemo mengembalikan bantuan karena berbeda dukungan calon bupati kini memasuki babak baru. Pada 24 Oktober 2024, Tim Hukum Berani melaporkan Hasan, Kepala Desa (Kades) Lemo, ke Bawaslu Bombana atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Pemilihan.

Laporan tersebut dilapokan oleh Syarif Andi Nurchman, dengan pendampingan langsung dari Tim Hukum Berani. Tindakan Kades yang meminta warga mengembalikan bantuan berupa atap rumah (seng) dinilai melanggar Pasal 188 Ayat (1) UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal ini menyebutkan bahwa pejabat, termasuk kepala desa, yang melanggar aturan netralitas pemilihan dapat dipidana penjara antara satu hingga enam bulan dan/atau didenda antara Rp600.000 hingga Rp6.000.000.

“Tindakan ini jelas menyalahi aturan. Bantuan dari pemerintah tidak boleh dipolitisasi. Apalagi digunakan sebagai alat intimidasi kepada warga hanya karena perbedaan pilihan politik,” kata Masri Said, S.H., M.H., Tim Hukum Berani, dalam keterangannya.

Selain laporan yang diajukan ke Bawaslu Bombana, Panwascam Poleang Tenggara juga menerima laporan serupa dengan objek dan terlapor yang sama. “Kami tidak mempermasalahkan laporan di Bawaslu atau Panwascam yang diproses lebih dulu, karena objek dan terlapor sama. Bahkan, di Panwascam, laporan juga menyebut keterlibatan perangkat desa, termasuk kepala dusun,” tambah Masri.

Masri menegaskan bahwa Tim Hukum Berani akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. “Kami meyakini ada indikasi kuat pelanggaran pidana pemilihan di sini. Harapan kami, hasil kajian Bawaslu Bombana sejalan dengan analisis kami, sehingga penegakan hukum dapat berjalan maksimal,” ujarnya.

Tim Hukum Berani juga mendesak agar jika ditemukan indikasi pidana, Gakkumdu segera memproses kasus ini secara tegas dan profesional. Mereka menekankan bahwa proses hukum harus dilakukan secara konsisten dan tepat waktu untuk menjaga integritas pemilihan.

“Kami tidak ingin kasus ini terhenti hanya karena alasan daluarsa atau ketidakhadiran terlapor dalam pemeriksaan. Ini harus menjadi contoh bahwa demokrasi tidak boleh dinodai dengan intimidasi seperti ini,” tutup Masri Said.