Kendari – Aliansi Suara Rakyat (ASR) Sulawesi Tenggara belakangan menuai tanda tanya besar. Sebelumnya, ASR tampil lantang menyoroti aktivitas tambang nikel di Pulau Kabaena, yang dinilai sarat pelanggaran hukum. Mereka bahkan menuding PT Tonia Mitra Sejahtera (PT TMS) menambang di luar izin, hingga merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Minggu, 14 September 2025.
Puncaknya, nama Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, terseret dalam aksi unjuk rasa. Dugaan keterlibatan Dasco bukan sekadar isu liar, sebab tertulis jelas dalam selebaran resmi yang dibagikan massa di Kendari. Dalam selebaran itu, masyarakat mendesak Presiden RI untuk menegur langsung Wakil Ketua DPR RI yang dituding membekingi tambang perusak lingkungan di Kabaena.
Koordinator ASR kala itu menegaskan, keterlibatan “orang besar” dalam kasus PT TMS bukan sekadar rumor. Mereka bahkan berencana melayangkan surat resmi ke DPP Partai Gerindra untuk meminta klarifikasi terkait nama Dasco yang mencuat. Desakan keras itu mempertegas keresahan publik, sekaligus membuka ruang spekulasi tentang campur tangan elite politik dalam bisnis tambang nikel.
Namun, situasi berbalik cepat. Hanya dalam hitungan hari, ASR mendadak melunak. Melalui La Ode Hidayat, mereka menegaskan bahwa penyebutan nama Dasco hanyalah bentuk ulasan umum tentang dinamika tambang ilegal. Ia bahkan menyebut nama Dasco “dipelintir” dan terlalu dilebih-lebihkan oleh pemberitaan.
Perubahan sikap ini justru memunculkan pertanyaan baru: apa yang sebenarnya terjadi dengan ASR? Mengapa narasi yang sebelumnya begitu keras dan penuh desakan, kini tiba-tiba ditarik mundur? Apakah memang terjadi salah tafsir, atau ada tekanan politik yang membuat mereka memilih jalan klarifikasi lunak?
Hingga kini, dugaan keterlibatan Dasco Ahmad dalam kasus PT TMS belum terkonfirmasi. Namun tarik-ulur pernyataan ASR justru memperkuat spekulasi publik: benarkah hanya salah ucap, atau ada kekuatan besar di balik perubahan sikap ini?