METROSULTRA.ID, KEPTON – Menjelang pertemuan penting pada 17 November 2025 di Kota Baubau yang melibatkan seluruh pimpinan wilayah se-Kepulauan Buton (Kepton), Gubernur Sulawesi Tenggara, serta Komite I DPD RI, muncul suara kritis dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Baubau. Pertemuan tersebut rencananya akan membahas pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk arah kebijakan pembangunan di wilayah Kepton.
Namun, HMI melalui Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah menilai agenda itu tidak cukup meyakinkan. Mereka melihat ada risiko bahwa pertemuan tersebut hanya akan menjadi panggung seremonial, tanpa output nyata bagi peningkatan tata kelola pemerintahan di Kepton.
“Kami khawatir pertemuan ini hanya akan menjadi ajang seremonial tanpa menghasilkan dampak nyata dalam perbaikan kondisi pemerintahan. Banyak janji manis yang kerap dilontarkan dalam forum seperti ini, namun minim realisasi di lapangan,” tegas La Ode Saliadin, Wakil Sekretaris Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Baubau.
Lebih lanjut, Saliadin menyebut bahwa sebagian kepala daerah di wilayah Kepton saat ini sedang menghadapi persoalan hukum. Mulai dari dugaan maladministrasi kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Baubau yang dilaporkan ke Ombudsman, dugaan skandal keuangan daerah yang menyeret Bupati Buton Tengah dan Plh Sekdanya ke Kejaksaan Negeri Buton, hingga dugaan skandal tender proyek yang dikaitkan dengan Bupati Buton Selatan dan telah dilaporkan ke KPK.

Tak berhenti sampai di situ, dugaan mark-up pembangunan asrama mahasiswa di Kendari oleh Pemerintah Kabupaten Buton Utara juga kembali mencuat. Di sisi lain, Bupati Buton dituding memberikan janji palsu mengenai penyediaan 6.000 lapangan kerja yang hingga kini belum terealisasi.
Kasus berbeda muncul di Wakatobi. Janji politik saat kampanye berupa bantuan Rp1 miliar per desa disebut belum terealisasi secara merata. Bahkan, dinamika struktural yang baru-baru ini memanas terkait dugaan penunjukan Kepala Dinas Lingkungan Hidup menjadi rektor sebuah universitas dinilai cacat prosedur karena rangkap jabatan.
Di tengah deretan masalah itu, isu pemekaran Provinsi Kepton kembali menjadi perbincangan panas. HMI menilai tidak ada kejelasan signifikan sejak pembentukan panitia pemekaran. Mereka mencurigai bahwa isu tersebut digunakan sebagai alat mencari simpati dan dukungan politik dalam Pilkada lalu.
“Ini namanya dugaan manipulasi yang terstruktur untuk mendapatkan keuntungan pribadi,” tegas Saliadin.
Meski bersuara kritis, HMI menekankan bahwa mereka tidak memosisikan diri sebagai lawan pemerintah. Sebaliknya, mereka ingin menjadi mitra yang mengawal setiap kebijakan agar benar-benar berpihak pada rakyat.
“Kami sadar tidak ada pemimpin yang sepenuhnya sempurna. Namun kebijakan itu harus pro-rakyat. Jangan lagi mengumbar janji-janji politik yang tidak rasional. Masyarakat sudah cukup cerdas untuk menilai itu,” ujarnya menambahkan.
HMI Baubau berharap pertemuan besar pada 17 November mendatang bisa memberikan arah jelas dan capaian konkret bagi pembangunan di Kepulauan Buton.
“Kami menunggu hasil pertemuan ini. Semoga ada kabar baik demi kemajuan pembangunan Kepton ke depan,” tutup Saliadin dengan penuh harap.


